Setiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat
baik berwujud sebagai komunitas desa, kota, sebagai kekerabatan, atau kelompok
adat yang lain, bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama terlihat oleh
orang di luar warga masyarakat bersangkutan. Seorang warga dari suatu
kebudayaan yang telah hidup dari hari ke hari di dalam lingkungan kebudayaannya
biasanya tidak melihat lagi corak khas itu. Sebaliknya, terhadap kebudayaannya
biasanya tidak terlihat corak khasnya, terutama mengenai unsur-unsur yang
berbeda mencolok dengan kebudayaan sendiri.
Corak khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena
kebudayaan fisik dengan bentuk khusus, atau karena di antara pranata-pranatanya
ada fisik dengan bentuk khusus, atau dapat juga karena warganya menganut suatu
tema budaya khusus. Sebaliknya, corak khas tadi juga dapat disebabkan karena
adanya kompleks unsur-unsur yang lebih besar. Berdasarkan atas corak khusus
tadi, suatu kebudayaan dapat dibedakan dari kebudayaan.
Konsep yang tercakup dalam istilah “suku bangsa”
adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan
“kesatuan kebudayaan”, sedangkan kesadaran dan identitas tadi sering kali
(tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Jadi, “kesatuan
kebudayaan” bukan suatu hal yang ditentukan oleh orang luar (misalnya oleh
seorang ahli antropologi, ahli kebudayaan, atau lainnya, dengan metode analisis
ilmiah), melainkan oleh warga kebudayaan bersangkutan itu sendiri. Dengan
demikian, kebudayaan Sunda merupakan suatu kesatuan, bukan karena ada
peneliti-peneliti yang secara etnografi telah menetukan bahwa kebudayaan Sunda
itu suatu kebudayaan tersendiri yang berada dari kebudayaan Jawa, Banten, atau
Bali, melainkan karena orang Sunda sendiri sadar bahwa kebudayaan Sunda
mempunyai kepribadian dan identitas khusus, berbeda dengan
kebudayaan-kebudayaan tetangganya itu. Apalagi adanya bahasa Sunda yang berbeda
dengan bahasa Jawa atau Bali lebih mempertinggi kesadaran akan kepribadian
khusus tadi.
Dalam kenyataan, konsep “suku bangsa “ lebih
kompleks daripada yang terurai di atas. Ini disebabkan karena dalam kenyataan,
batas dari kebudayaan itu dapat meluas atau menyempit, tergantung pada keadaan.
Misalnya, penduduk Pulau Flores di Nusa Tenggara tersendiri dari beberapa suku
bangsa yang khusus, dan menurut kesadaran orang flores itu sendiri, yaitu orang
Manggarai, Ngada, Sikka, Riung, Nage-Keo, Ende, dan Laratuka. Kepribadian khas
dari tiap suku bangsa tersebut dikuatkan pula oleh bahasa-bahasa khusus yaitu
bahasa Manggarai, bahasa Ngada, bahasa Sikka, bahasa Ende dan sebagainya, yang
jelas berbeda dan tidak dimengerti yang lain. Walaupun demikian, kalau orang
flores dari berbagai suku bangsa itu tadi berada di jakarta misalnya, dimana
mereka harus hidup berkonfrontasi dengan golongan atau kelompok lain lebih
besar dalam kekejaman perjuangan hidup di suatu kota besar, mereka akan merasa
bersatu sebagai Putra Flores, dan tidak sebagai orang Sikka, orang Ngada, atau
orang Laratuka. Demikian pula penduduk Irian Jaya yang di Irian Jaya yang di
irian jaya sendiri sebenarnya merasakan diri orang Sentani, orang Marindanim,
orang Serui, orang Kapauku, orang Moni dan sebagainya, akan merasa diri mereka
sebagai Putra Irian Jaya apabila mereka ke luar dari Irian Jaya. Dalam penggolongan
politik atau administratif di tingkat nasional tentu lebih praktis memakai
penggolongan suku bangsa secara terakhir tadi, yang sifatnya lebih luas dan
lebih kasar, tetapi dalam analisis ilmiah secara antropologi kita sebaiknya
memakai konsep suku bangsa dalam arti sempit.
Mengenai pemaikaian suku bangsa sebaiknya selalu
memakainya secara lengkap, dan agar tidak hanya mempergunakan istilah singkata
“suku” saja. Pemakaian yang tepat, misalnya suku bangsa Minangkabau, suku
bangsa Sunda, suku bangsa Ngaju, suku bangsa Makassar, suku bangsa Ambon, dan
jangan hanya ; suku Minangkabau maupun dalam sistem peristilahan etnografi dan
ilmu hukum adat istiadat indonesia, sudah mempunyai arti teknis yang khas.
Deskripsi mengenai kebudayaan suatu bangsa biasanya
merupakan idi dari sebuah karangan etnografi. Namun karena ada suku bangsa yang
besar sekali, terdiri dari berjuta-juta penduduk (seperti suku bangsa Sunda),
maka ahli antropologi yang membuat sebuah karangan etnografi sudah tentu tidak
dapat mencakup keseluruhan dari suku bangsa besar itu dalam deskripsinya.
Umumnya ia hanya melukiskan sebagian dari kebudayaan suku bangsa itu. Etnografi
tentang kebudayaan Sunda misalnya hanya akan terbatas pada kebudayaan Sunda
dalam suatu daerah logat Sunda yang tertentu, kebudayaan sunda dalam suatu
kebupaten tertentu, kebudayaan sunda di pegungungan atau kebudayaan Sunda di
pantai, atau kebudayaan Sunda dalam suatu lapisan sosial tertentu dan
sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar